Sabtu, 30 Oktober 2010

HIPOTESIS SAPIR-WHORF

Hipotesis Sapir-Whorf lazim disebut teori relativitas bahasa. Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang linguis Amerika yang sangat memahami konsep-konsep linguistik Eropa sedangkan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah muridnya. Mereka banyak mempelajari bahasa-bahasa orang Indian.
Hipotesis ini sangatlah kontroversial dengan pendapat sebagian ahli. Menurut hipotesis Sapir-Whorf/ teori relativias linguistic menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan si pemakainya. Jadi bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari pebedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa, manusia tidak memiliki pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka cirri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budanya penuturnya. Contoh yang paling mendasar adalah kata rice dalam bahasa Inggris, dapat diterjemahkan menjadi tiga kata yang maknanya berbeda dalam bahsa Indonesia yaitu gabah, beras dan nasi. Ini menujukkan bahwa orang Indonesia lebih peduli pada benda ini daripada orang Inggris. Hal ini dapat digambarkan betapa pentingnya nasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga ada ungkapan yang mengatakan “belum makan kalau belum makan nasi”. Walaupun mereka sudah makan roti yang banyak, apabila belum makan nasi masih belum dikatakan makan yang sebenarnya.
Bahasa barat (Eropa) memiliki system kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Mereka melakukan kegiatan selalu terikat dengan waktu. Begitu pun kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan waktu. Pada musim panas pukul 21.00 rembulan masih bersinar terang, tetapi anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan) disuruh tidur karena katanya hari sudah malam. Pukul 01.00 (sesudah pukul 24.00) meskipun masih gelap gulita, bila bertemu mereka sudah akan saling menyapa dengan ucapan “selamat pagi” karena katanya hari sudah pagi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, maka menjadi tidak memperhatikan akan waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa jam kemudian. Itulah sebabnya ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia.
Ilustrasi lain adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa daerah misalnya bahasa sunda. Dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu: abdi, kuring, ung, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk untuk orang kedua adalah andika, anjeun, aneh, silaing, sia. Kata “makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Neda, untuk makan sendiri
Tuang, untuk orang yang kita hormati
Dahar, untuk teman sebaya yang sudah akrab (anehnya dahar ini justru halus dalam bahasa Jawa setara dengan tuang dalam bahasa Sunda)
Nyatu, untuk hewan
Emam untuk anak kecil

“The social situation requires a far greater degree of rigidity. An extreme example found in Java, where society is divided into three distinct social groups. At the top are the aristocrats, in the middle are the townsfolk, and at the bottom are the farmers; each of these groups has a distinct style of speech associated with it”.

Hal ini menyebutkan tingkatan-tingkatan dalam bahasa merupakan hal yang menunjukkan keadaan dan situasi social dalam sebuah masyarakat. Ketika kita menggunakan bahasa daerah, sifat bahasa daerah yang berlapis-lapis itu, sadar ataupun tidak memaksa kita untuk memandang orang di hadapan kita dengan kategori tertentu sehingga bahasa daerah dapat dikatakan bersifat feodalistik, tidak egaliter baik dalam penggunaan kata ganti, kata sifat, maupun kata kerja berbeda dengan bahas inggris yang lebih egaliter. Kita menggunakan kata ganti orang pertama I dan kata ganti orang kedua you kepada siapapun, tak peduli apapun jabatan mereka baik dalam situasi formal maupun informal.

Hipotesis Sapir-Whorf menyatakan perbedaan berfikir disebabkan oleh bahasa ini. Orang Arab melihat realitas secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sesama bahasa Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita lalu, lalu kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya bahwa kita membuat peta realitas tersebut, yang dilakukan atas dasar bahasa yag kita pakai, bukan atas dasar realitas itu. Umpamanya jenis warna di seluruh dunia ini sama, tetapi mengapa setiap bangsa yang berbeda bahasanya, melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, grey. Penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal 4 warna saja yaitu mabiru (hitam dan warna gelap), melangit (putih dan warna cerah), meramar (kelompok warna merah), malatuy (kuning, hijau muda, dan coklat muda).
Dalam penjelasan diatas secara implisit teori ini menyatakan bahwa:
1.Tanpa bahasa kita tidak dapat berfikir
2.Bahasa mempengaruhi persepsi
3.Bahasa mempengaruhi pola berfikir
Teori relativitas linguistic tidak hanya terikat dalam aspek linguistik akan tetapi mencakup ranah sosiologi, psikologi dan antropologi.

3 komentar:

  1. terimakasih atas penejelasannya karena saya sangat pusing saat baca artikel bahasa inggris

    BalasHapus