Sabtu, 20 November 2010

Perspektif Komunikasi

Perspektif Komunikasi

Perkembangan komunikasi berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi. Berlo (1975) menyebut zaman sekarang ini adalah zaman revolusi komunikasi yang sejati, yang ditimbulkan, sebagian terbesar oleh adanya perkembangan kemajuan teknologis yang amat pesat di bidang media komunikasi. Salah satu fakta yang sangat mencolok tentang dasawarsa dewasa ini adalah ledakan informasi yang luar biasa. Ledakan informasi itu telah menuntut adanya penemuan beberapa sarana untuk mengatasi masalah informasi tersebut.

Teknologi telah dikembangkan pada tingkat massa dengan perkembangan sistem komputer yang canggih itu (misalnya ERIC) untuk menyimpan dan mencari kembali informasi secara sistematis. Dalam pengertian yang sebenarnya, ERIC hanyalah suatu mekaninsme untuk mengatasi masalah secara komputer itu. Teknologi juga menambah “kemudahan dibawanya” informasi sehingga setiap tahun berikutnya makin banyak orang menerima informasi secara lebih cepat.

Hasil yang tidak dapat dielakkan dari revolusi komunikasi pada masa kini adalah bahwa pemahaman hakikat komunikasi manusia menjadi lebih sulit lagi, namun menjadi lebih menentukan dalam masyarakat kontemporer.

1. Perspektif Mekanistis

Para ahli teori sosial dan filsuf ilmu umumnya sependapat bahwa ilmu sosial/ perilaku amat banyak meminjam dari ilmu fisika, pada saat disiplin baru itu menjalani perkembangan selama tahun-tahun pembentukannya. Perspektif mekanistis komunikasi manusia menekankan pada unsur fisik komunikasi, penyampaian dan penerimaan arus pesan seperti ban berjalan di antara sumber atau para penerimanya. Semua fungsi penting dari komunikasi terjadi pada saluran, lokus , perspektif mekanistis. Ilmu fisika yang dominant pada beberapa abad ini merupakan perspektif mekanistis, umumnya dikenal sebagai “fisika klasik”.

Model perspektif mekanistis komunikasi manusia.

Saluran merupakan tempat untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan secara kontinu atau terus-menerus, tanpa adanya saluran maka komponen- komponen komunikasi lainnya akan terkatung- katung secara koseptual dalam ruangan. Karena secara jelas perspektif mekanistis menempatkan komunikasi bulat- bulat pada saluran.

Karena terlalu memfokuskan kepada saluran, maka timbul hambatan dan kegagalan dalam komunikasi. Hambatan tersebut lebih banyak dilihat sebagai hambatan psikologis yang terdapat dalam kemampuan kognitif dan afektif Individual dalam menyandi dan mengalih sandi pesan.

Encoding merupakan proses pentransformasian pesan dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada saat penyampaian. Sedangkan pengalihan sandi atau decoding merupakan proses pentransformasian pesan dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada saat penerimaan atau di titik tujuan.

Jika komunikatornya lebih dari dua, maka memerlukan penjaga gerbang atau disebut gate keeping. Penjaga gerbang berfungsi menerima informasi dari suatu sumber dan merelai informasi tersebut kepada seorang penerima.

2. Perspektif Psikologis

Banyak penelitian komunikasi dalam tradisi empiris ilmu sosial kontemporer telah meminjam secara besar-besaran dari psikologi, tetapi fenomena ini dapat dimengerti. Sejak berabad-abad komunikasi meminjam dari disiplin lain seperti filsafat, sosiologi, bahasa dan lain sebagainya. Banyak yang menganggap bahwa tradisi meminjam ini adalah hal yang wajar karena komunikasi merupakan disiplin yang elektik (electic).

Karakteristik Penjelasan Psikologis

Seperti halnya komunikasi, psikologi merupakan disiplin yang beraneka ragam dengan spesialisasi-spesialisasi yang dihubungkan secara longgar, misalnya psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, dan lain sebagainya. Sebenarnya, pandangan psikologis komunikasi tidak mencakup semua hal dari satu teori saja dalam psikologi. Ingat bahwa peminjaman komunikasi dari psikologi secara relatife bersifat dangkal dan sporadis. Akibatnya, disini tidaklah dimaksudkan untuk mengemukakan cirri-ciri esensial penjelasan psikologis. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk menandai ciri-ciri penjelasan psikologis yang tampaknya mengarahkan ahli komunikasi yang mempergunakannya.

Penerimaan Stimuli oleh Alat-alat Indera

Sebagai manusia, kemanpuan kita sangat terbatas untuk berhubungan dengan lingkungan kita serta dengan sesama kita. Secara fisiologis, setidak-tidaknya, kita hanya memiliki lima alat indera. Fenomena lingkungan itu yang terkandung dalam banyak penjelasan psikologis, termasuk dalam penjelasan teoritis di luar kecenderungan behavioristis, adalah konsep “stimulus” sebagai satuan masukan alat indera.

Jadi, setiap berkas sinar yang masuk pada retina mata kita, setiap getaran udara yang menggetarkan bagian dalam telinga kita, atau zat apapun yang merangsang indera kita dinamakan stimulus. Akibatnya, stimuli memberikan data yang dipergunakan dalam penjelasan tentang perilaku manusia

Mediasi Internal Stimuli

Setelah menerima stimuli-stimuli, indera kita akan mengolahnya kembali di dalam tubuh dan pikiran kita. Hampir seluruhnya, mediasi organisme dalam penjelasan S-R merupakan konsep black box, yakni struktur khusus dan fungsi proses antara yang internal dipandang kurang penting dibandingkan dengan proses pengubahan input menjadi output. Menurut teori ini, penjelasan memerlukan pengamatan masukan dan pengeluaran namun tidak menuntut pengamatan langsung pada kegiatan dalam diri organisme yang bersangkutan, sekalipun mungkin dapat dilakukan.

Penjelasan S-R akan mengemukakan bahwa organisme akan menghasilkan perilaku tertentu, jika ada kondisi stimulus tertentu. Maksudnya, keadaan internal organisme berfungsi menghasilkan respons tertentu jika ada kondisi stimulus tertentu pula. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa keadaan internal tersebut hanya dapat dikenali dalam artian peran yang dijalankannya dalam menghasilkan perilaku.

Peramalan Respons

Tujuan penjelasan S-R berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons. Sebenarnya respons dianggap sebagai perilaku yang dapat secara langsung diamati, dan penjelasan psikologis berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan, perilaku dalam artian stimuli dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons tidak dapat diramalkan semata-mata dalam arti sifat fisik stimulus. Respons lebih dapat diuntungkan dengan keadaan internal yang diaktifkan oleh psikologis.

Secara singkat, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah organisme menerima stimuli-stimuli dari luar dan kemuadian memporosesnya di dalam dirinya, maka organisme akan dapat meramalkan respons apa yang akan terjadi selanjutnya, baik itu akan dilakukan maupun tidak akan dilakukan.

Peneguhan (Reinforcement) Respons

Peneguhan respons mempengaruhi keadaan internal organisme dalam keadaan kebalikannya. Maksudnya, organisme itu dipengaruhi tidak hanya oleh peristiwa di masa lampau saja tetapi iapun dipengaruhi oleh masa yang akan datang.

Akibat adanya arah ganda waktu ini adalah untuk memberikan penegasan yang lebih besar pada keadaan internal organisme tersebut. Dalam arti, organisme tidak hanya tergantung pada lingkungannya saja, tetapi ia dapat mengendalikan lingkungan dan pengaruhnya, sampai batas tertentu, melalui penggunaan fungsi antara dari keadaan internalnya.

Perspektif psikologis tentang komunikasi manusia memfokuskan perhatiannya pada individu (si komunikator/ penafsir) baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal peneriamaan dan pengelolahan informasi.

Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang berpusat pada si penerima. Walaupun bidang sebenarnya psikologi yang dipinjam perspektif ini masih tidak jelas, unsur- unsur perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuwan komunikasi yang mempergunakan perspektif psikologi.

Model perspektif psikologi komuniksi manusia.

Pertama- tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli- jadi manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli informasional.

Psikologis komunikasi memiliki model yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas- batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain.

Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk mencakup semua konstruk yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara teoritis kegiatan internal dalam diri manusia. Filter konseptual juga berfungsi untuk membantu proses penyandian, apabila proses penyandian kurang ditangkap dengan baik.

Salah satu hambatan perspektif psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.

Penggambaran tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan.

3. Perspektif Interaksional

Meskipun asal mula perspektif interaksional komunikasi manusia dapat ditelusuri sampai kefilsafat ekstensialisme dan bahkan ke Socrates, sumbernya yang khusus dan komprehensif dari perspektif ini secara langsung ataupun tidak langsung adalah interaksional komunikasi manusia.

Secara lebih khusus lagi, arah perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali dari pendekatan interaksional pada studi komunikasi manusia.

Popularitas interaksional berasal dari reaksi humanistis terhadap mekanisme dan psikologisme. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah pemberian penekanan yang manusiawi pada diri sebagai unsur pokok perspektif interaksional. Tetapi dari pada memandang diri hanya sebagai internalisasi pengalaman individual, interasionisme lebih menerangkan perkembangan diri melalui proses “penunjukan diri” di mana individu dapat “bergerak keluar” dari diri dan melibatkan dirinya dalam intropeksi dari sudut pandang orang lain. Dengan cara yang sama individu dapat melibatkan dirinya dalam pengambilan peran dan mendefinisikan diri maupun orang lain dari sudut pandang orang lain.

Fenomena pengambilan peran inilah yang memungkinkan adanya pengembangan diri semata- mata sebagai proses sosial- dalam proses intropeksi maupun ekstropeksi. Oleh karena hanya melalui interaksi sosial hubungan dapat dikembangkan. Dan pengambilan peran tidak hanya merupakan unsur sentral dari perspektif interaksional, akan tetapi juga menjadi unsur yang unik.

Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses dari komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu- individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial akan tetapi juga adanya perasaan kebersamaan ataupun keadaan timbal balik dari individu- individu yang bersangkutan, yang dilukiskan dalam model sebagai “kesearahan” orietasi individu- individu terhadap diri orang lain, dan objek.

Model perspektif interaksional komunikasi manusia.

Komunikator interaksional merupakan penggabungan yang kompleks dari individualisme sosial, yakni seorang individu yang mengembangkan potensi kemanusiawiannya melalui interaksi sosial.

Implikasi yang paling penting dari perspektif interaksional bagi studi komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian. Implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang akan dijalankan oleh peneliti. Dari pada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, dan tidak tertarik atas fenomena empiris, penelitian interaksional menjalankan peranannya sebagai seorang pengamat- partisipan dalam pelaksanan penelitiannya. Dari sudut pandang mereka, peneliti mengoperasionalkan konsep dan menjalankan observasi empirisnya. Akan tetapi, validasi konsep penelitiannya bergeser dari criteria eksternal ke sudut pandangan para subjek penelitian itu sendiri.

Perspektif interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik perhatian orang dalam pengertian bahwa ia berada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian sebagai “revolusi yang belum tuntas”, setiap penemuan penelitian secara relative bersifat baru dan mengarah ke banyak arah yang baru.

4. Perspektif Pragmatis

Pragmatis merupakan studi tentang bagaimana lambing- lambing itu berhubungan dengan orang lain. Aspek pragmatis komunikasi berpusat pada perilaku komunikator sebagai komponen fundamental komunikasi manusia. Pragmatika berpandangan bahwa komunikasi dan perilaku sesungguhnya sama.

Prinsip-prinsip pragmatika secara langsung lebih banyak berasal dari teori system umum, campuran, multi disipliner dari asumsi, konsep, dan prinsip- prinsip, yang berusaha menyediakan kerangka umum bagi studiberbagai jenis fenomena- fisika, biologi, dan sosial. Teori system merupakan seperangkat prisip yang terorganisasikan secara longgar dan bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan jalan pikiran kita, namun yang tergantung pada berbagai penafsiran.

Pada prinsipnya perspektif pragmatis merupakan alternatif bagi perspektif mekanistis dan psikologis, dengan memfokuskan pada urutan perilaku yang sedang berlangsung dalam ruang lingkup filosofis dan metodologis teori system umum dan teori informasi. Penekanannya pada urutan interaksi yang sedang berjalan, yang membatasi dan mendefinisikan system sosial, merupakan pemindahan dari penekanan perspektif interaksional pada pengambilan peran yang diinternalkan. Meskipun demikian, pemberian penekanan pada perilaku interaktif, sekalipun penjelasan kejadiannya itu berbeda, merupakan penekanan yang sama bagi perspektif pragmatis dan interaksional.

Yang fundamental bagi setiap studi komunikasi manusia yang serius dalam perspektif pragmatis adalah daftar kategori yang menyatakan fungsi yang dilakukan oleh komunikasi manusia dan yang menyatakan fungsi yang dilakukan oleh komunikasi manusia dan yang memungkinkan tindakan komunikatif untuk diulang kembali pada saat yang bersamaan.

Selanjutnya untuk memahami komunikasi manusia adalah mengorganisasikan urutan yang sedang berlangsung ke dalam kelompok- kelompok karakteristik sehingga peristiwa itu “cocok” satu sama lainnya dalam suatu pola yang dapat ditafsirkan. Urutan itu diberi cara penggunaannya berkat ketrbatasanyang diberikan pada pilihan interaktif; yakni, makin redudan urutan itu, makin banyak struktur yang diperlihatkan oleh pola interaksi.

Implikasi perspektif lebih luas dan lebih jauh liputannya dalam perbedaannya dari kebijakan konvensional yang mengitari komunikasi manusia. Implikasi- implikasi tersebut yakni:

· Ekternalisasi, karena komunikasi memusatkan perhatiannya pada perilaku, maka ungkapan klise yang dihubungkan dengan komunikasi mulai menerima makna baru.

· Probabilitas stokatis, umumnya analisa data penelitian dalam ilmu- ilmu sosial mempergunakan statistika inferensial, dan desain- desain eksperiental. Sifat perspektif pragmatis menimbulkan masalah bagi para ahli yang hanya terlatih dalam methode penelitian yang tradisional. Prinsip ekuifinalitas, yang menandai system terbuka, tidak menyisihkan sama sekali metode eksperimental, tetapi ia hanya mengurangi arti pentingnya saja.

· Analisis kualitatif, perspektif pragmatis mengandung arti bahwa inferensi kausal menjadi kurang penting dalam memahami proses komunikasi manusia, jika tidak mau dikatakan tidak sesuai. Yang lebih penting dan relevan adalah masalah- masalah kualitatif yang mengenai karakterisasi system komunikasi. Bagian ini akan berusaha menggambarkan secara garis- besar beberapa masalah kualitatif yang paling penting bagi studi komunikasi sekarang.

· Kompleksitas konsep waktu, di dalam kerangka perspektif pragmatis, waktu menjadi makin lebih kompleks dan makin lebih merupakan bagian yang integral dari komunikasi manusia.

· Komunikasi interpersonal massa, dalam bidang yang beranekaragam seperti komunikasi manusia, penerapan perspektif pragmatis bertindak sebagai kerangka untuk mempersatukan berbagai pendekatan komunikasi yang berlainan.

Untuk mengkonseptualisasikan komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan memperbaharui secara drastic pola pikiran yang semula tentang komunikasi. Akan tetapi untuk mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan “partisipasi” atau “memasuki” suatu system komunikasi ataupun hubungan memerlukan “goncangan” pada cara berpikir kita yang tradisional.

Walaupun demikian, kemampuan untuk mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai perspektif merupakan suatu tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan, termasuk kemampuan untuk merekonseptualisasikan adalah isyarat adanya pemahaman yang meningkat.

5. Kombinasi Perspektif

Ahli-ahli komunikasi seringkali mengkombinasikan unsur-unsur berbagai perspektif dan menggunakan kombinasi ini dalam meninjau proses komunikasi. Kombinasi yang sering terjadi adalah perspektif psikologis dengan mekanistis. Pada umumnya perspektif mekanistis- psikologis merupakan pendekatan komunikasi yang jelas paling popular.

Setiap perspektif secara relatif terpisah secara relatif antar yang satu dengan yang lain. Menurut Aubrey Fisher, agar penelitian produktif hendaknya menyadari pemakaian kombinasi perspektif dan secara sadar mencegah adanya kombinasi yang tidak konsisten atau tidak searah. Prasyarat bagi setiap pengembangan teoritis komunikasi adalah adanya kesadaran kritis tentang perspektif teoritis yang ada dan yang sedang diterapkan.

Perspektif bukan hanya perspekti mekanistis, psikologis, interaksionis, dan pragmatis saja, melainkan masih ada yang lain diantaranya: perspektif ekologi atau kontekstual tentang komunikasi manusia konsisten dengan definisi komunikasi sebagai proses adaptasi orgaisme kepada lingkungan. Perspektif ekologi lebih bersifat asumtif dari pada aktual.

Perspektif dramatisme, lebih berpengaruh dan populer dari pada pandangan ekologis adalah dampak dramatisme atas komunikasi. Daramatisme lebih bersifat analogis dari pada teoritis. Model dramatis menempatkan individu dan perilaku sosial dalam analogi dramatis yang menandai aktor sosial pada “panggung” kehidupan yang sebenarnya. Sebagai model atau analogi organisasi komunikasi, dramatisme sangat bersifat heuristic, kaya dengan ide- ide yang potensial.

Perspektif memang memberikan pengaruh besar pada akumulasi pengetahuan yang potensial yang menyangkut proses komunikatif. Pengaruh utama dari perspektif ialah menentukan/ mengarahkan pemahaman seseorang tentang konsep komunikasi. Salah satu cara untuk menerangkan pengaruhnya adalah mengatakan bahwa perspektif yang berbeda memberikan interpretasi yang berlainan juga.

Sebagian orang mungkin akan menafsirkan perspektif itu sebagai suatu metodelogi penelitian, jelas bukan. Begitu pula suatu metodelogi tertentu tidaklah unik atau bahkan paling tetap bagi suatu perspektif apapun. Dalam kenyataannya, setiap metodelogi penelitian apapun dapat cocok dalam salah satu dari keempat perspektif itu, hanya tergantung pada sifat pernyataan penelitian tertentu yang ditanyakan- bukan pada perspektif filosofisnya itu sendiri.
Diposkan oleh denontarr di 06.23
0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog

* ▼ 2008 (30)
o ▼ November (30)
+ TEORI AGENDA SETTING
+ TEORI KULTIVASI
+ TEORI OTORITER
+ TEORI PERBEDAAN INDIVIDUAL
+ TEORI MODEL SOSIAL
+ TEORI PENEGUHAN IMITASI
+ TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL
+ TEORI IDENTIFIKASI
+ TEORI PENIRUAN ATAU IMITASI
+ ANALISIS PROSES INTERKASI (BALES)
+ SISTEM INTERNAL DAN EKSTERNAL (HOMANS)
+ TEORI SOSIOMETRIS (MORENO)
+ TEORI PERTUKARAN SOSIAL (THIBAUT DAN KELLEY)
+ TEORI FISHTINGER TENTANG PROSES PERBADINGAN SOSIAL...
+ SISTEM A - B - X (NEWCOMB)
+ TEORI KESEIMBANGAN (HEIDER)
+ TEORI SOSIOMETRIK
+ TEORI PERTUKARAN SOSIAL
+ TEORI PERCAKAPAN KELOMPOK
+ TEORI KEPRIBADIAN KELOMPOK
+ TEORI PERBANDINGAN SOSIAL
+ AD-HOKRASI DAN TEORI BUCK ROGERS
+ TEORI SISTEM SOSIAL KATZ DAN KHAN
+ TEORI FUSI BAKKE DAN ARGYRIS
+ TEORI HUBUNGAN MANUSIAWI
+ TEORI INTEGRATIF
+ TEORI PENITI PENYAMBUNG
+ TEORI KEWENANGAN
+ PERSPEKTIF KOMUNIAKSI - B. AUBREY FISHER
+ TIPE-TIPE KEPEMIMPINAN

Mengenai Saya
Foto Saya

denontarr
seorang mahasiswa yang bodoh tapi sekarang sedang berusaha menjadi pintar and suka backpacker!!

Lihat profil lengkapku

Teori Komunikasi : Paradigma Naratif (Walter Fisher)

Teori Komunikasi : Paradigma Naratif (Walter Fisher)
Paradigma naratif mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seseorang pencerita dan bahwa pertimbangan akal ini, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada argument yang baik. Paradigm naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi.
Logika narasi lebih dipilih dibandingkan logika tradisional yang digunakan dalam argumentasi. Logika narasi (logika dari pemikiran yang luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas pembicara melalui apakah ceritanya runtut (mempunyai koherensi) dan terdengar benar (mempunyai ketepatan). Paradigm naratif memungkinkan sebuah penilaian demokratis terhadap pembicara karena tidak ada seorang pun yang harus dilatih secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan kebenaran.

Asumsi Paradigma Naratif
1. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita.
2. Keputusan mengenai harga diri dari sebuah cerita didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”.
3. Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter.
4. Rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan kebenaran sebuah cerita.
5. Kita mengalami dunia sebagai dunia yang diisi dengan cerita, dan kita harus memilih dari cerita yang ada.

Konsep Kunci dalam Pendekatan Naratif
Beberapa konsep kunci yang membentuk inti dari kerangka pendekatan naratif, yaitu:
1. Narasi, adalah deskripsi verbal atau nonverbal apapun dengan urutan kejadian yang oleh para pendengar diberi makna.
2. Rasionalitas naratif, adalah standar untuk menilai cerita mana yang dipercayai dan mana yang diabaikan.
3. Koherensi, adalah konsistensi internal dari sebuah naratif. Tiga tipe konsistensi dalam koherensi, yaitu:
• Koherensi structural, berpijak pada tingkatan dimana elemen-elemen dari sebuah cerita mengalir dengan lancar.
• Koherensi material, merujuk pada tingkat kongruensi antara satu cerita dengan cerita lainnya yang sepertinya berkaitan dengan cerita tersebut.
• Koherensi karakterologis, merujuk pada dapat dipercaya karakter-karakter didalam sebuah cerita.
4. Kebenaran, adalah reliabilitas dari sebuah cerita.
5. Logika dengan pertimbangan yang sehat, adalah seperangkat nilai untuk menerima suatu cerita sebagi benar dan berharga untuk diterima: memberikan suatu metode untuk menikai kebenaran. Hal ini berarti bahwa pertimbangan yang sehat manapun setara dengan yang lainnya: ini berarti bahwa apapun yang mendorong orang untuk percaya sebuah naratif tergantung pada nilai atau konsepsi yang baik.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Rabu, 03 November 2010

MEMPERKUAT BUDAYA BARU

Mengubah budaya pada dasarnya mengubah kebiasaan-kebiasaan (yaitu bagaimana pekerjaan diselesaikan) dalam suatu institusi, dan kalau berhasil, menghasilkan komitmen-komitmen baru, empowrment sumber daya manusia, dan ikatan yang lebih kuat antara institusi dengan pelanggannya (Porter and Parker, 1992).
Setelah nilai-nilai baru terbentuk dan budaya korporat disepakati menjadi bagian dari strategi korporat, institusi perlu terus memperkuatnya agar menjadi tradisi baru yang benar-benar mampu memberikan jawaban terhadap perubahan.
BUDAYA DISIPLIN
Perusahaan bagus dapat dibedakan kedalam dua kategori, yaitu:
1. Good company
2. Great company
Sebuah perusahaan bagus (good) mampu menjadi hebat (great) bukan sekedar menerapkan kedisiplinan melainkan budaya disiplin.
Kebanyakan pemimpin perusahaan biasanya sudah merasa puas setelah memperoleh penghargaan sebagai good company. Pada perusahaan ini biasanya ditemui tingkat keuntungan yang positif, cara kerja yang efisien, citra perusahaan yang sangat bagus, dan eksekutif yang cakap-cakap. Banyaknya penghargaan dapat membangun kinerja yang lebih baik namun bisa juga sebaliknya. Untuk menjaga hal-hal negatif tidak terjadi pada perusahaan yang baru saja berhasil membentuk budaya baru. Ada tiga pilar yang membentuk budaya disiplin, yaitu:
1. Discipline People :Manusia yang diseleksi ditempatkan dengan baik
Pembentukan budaya dimulai dari manusia, bukan organisasi. Jadi, berbeda dengan organisasi birokratikyang menempatkan “manusia untuk organisasi” maka disinilah organisasi di desain untuk manusia. Langkah-langkahnya antara lain:
a. Rekrut yang terbaik
b. Berikan pengertian terbaik
c. Jalankan Ritual yang benar
d. Letakkan pada kursi yang tepat
e. Keluarkan yang dibawah standar
f. Kepemimpinan level 5
2. Disciplin Action : Strategi yang diimplementasikan dengan benar
3. Discipline Thought : Mengikat kerja bukan hanya dengan disiplin, melainkan budaya disiplin.

Sabtu, 30 Oktober 2010

HIPOTESIS SAPIR-WHORF

Hipotesis Sapir-Whorf lazim disebut teori relativitas bahasa. Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang linguis Amerika yang sangat memahami konsep-konsep linguistik Eropa sedangkan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah muridnya. Mereka banyak mempelajari bahasa-bahasa orang Indian.
Hipotesis ini sangatlah kontroversial dengan pendapat sebagian ahli. Menurut hipotesis Sapir-Whorf/ teori relativias linguistic menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan si pemakainya. Jadi bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari pebedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa, manusia tidak memiliki pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka cirri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budanya penuturnya. Contoh yang paling mendasar adalah kata rice dalam bahasa Inggris, dapat diterjemahkan menjadi tiga kata yang maknanya berbeda dalam bahsa Indonesia yaitu gabah, beras dan nasi. Ini menujukkan bahwa orang Indonesia lebih peduli pada benda ini daripada orang Inggris. Hal ini dapat digambarkan betapa pentingnya nasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga ada ungkapan yang mengatakan “belum makan kalau belum makan nasi”. Walaupun mereka sudah makan roti yang banyak, apabila belum makan nasi masih belum dikatakan makan yang sebenarnya.
Bahasa barat (Eropa) memiliki system kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Mereka melakukan kegiatan selalu terikat dengan waktu. Begitu pun kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan waktu. Pada musim panas pukul 21.00 rembulan masih bersinar terang, tetapi anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan) disuruh tidur karena katanya hari sudah malam. Pukul 01.00 (sesudah pukul 24.00) meskipun masih gelap gulita, bila bertemu mereka sudah akan saling menyapa dengan ucapan “selamat pagi” karena katanya hari sudah pagi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, maka menjadi tidak memperhatikan akan waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa jam kemudian. Itulah sebabnya ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia.
Ilustrasi lain adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa daerah misalnya bahasa sunda. Dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu: abdi, kuring, ung, urang, kula, dewek dan aing, sedangkan untuk untuk orang kedua adalah andika, anjeun, aneh, silaing, sia. Kata “makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
Neda, untuk makan sendiri
Tuang, untuk orang yang kita hormati
Dahar, untuk teman sebaya yang sudah akrab (anehnya dahar ini justru halus dalam bahasa Jawa setara dengan tuang dalam bahasa Sunda)
Nyatu, untuk hewan
Emam untuk anak kecil

“The social situation requires a far greater degree of rigidity. An extreme example found in Java, where society is divided into three distinct social groups. At the top are the aristocrats, in the middle are the townsfolk, and at the bottom are the farmers; each of these groups has a distinct style of speech associated with it”.

Hal ini menyebutkan tingkatan-tingkatan dalam bahasa merupakan hal yang menunjukkan keadaan dan situasi social dalam sebuah masyarakat. Ketika kita menggunakan bahasa daerah, sifat bahasa daerah yang berlapis-lapis itu, sadar ataupun tidak memaksa kita untuk memandang orang di hadapan kita dengan kategori tertentu sehingga bahasa daerah dapat dikatakan bersifat feodalistik, tidak egaliter baik dalam penggunaan kata ganti, kata sifat, maupun kata kerja berbeda dengan bahas inggris yang lebih egaliter. Kita menggunakan kata ganti orang pertama I dan kata ganti orang kedua you kepada siapapun, tak peduli apapun jabatan mereka baik dalam situasi formal maupun informal.

Hipotesis Sapir-Whorf menyatakan perbedaan berfikir disebabkan oleh bahasa ini. Orang Arab melihat realitas secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sesama bahasa Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita lalu, lalu kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya bahwa kita membuat peta realitas tersebut, yang dilakukan atas dasar bahasa yag kita pakai, bukan atas dasar realitas itu. Umpamanya jenis warna di seluruh dunia ini sama, tetapi mengapa setiap bangsa yang berbeda bahasanya, melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, grey. Penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal 4 warna saja yaitu mabiru (hitam dan warna gelap), melangit (putih dan warna cerah), meramar (kelompok warna merah), malatuy (kuning, hijau muda, dan coklat muda).
Dalam penjelasan diatas secara implisit teori ini menyatakan bahwa:
1.Tanpa bahasa kita tidak dapat berfikir
2.Bahasa mempengaruhi persepsi
3.Bahasa mempengaruhi pola berfikir
Teori relativitas linguistic tidak hanya terikat dalam aspek linguistik akan tetapi mencakup ranah sosiologi, psikologi dan antropologi.

Minggu, 24 Oktober 2010

Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran Kajian Hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir

Format Kutipan APA :
Widhiarso, W. (2005). Pengaruh bahasa terhadap pikiran kajian hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Retrieved from http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/h-33/pengaruh-bahasa-terhadap-pikiran.html


Wahyu Widhiarso

“ To give a child an idea of scarlet or orange, of sweet or bitter, I present the
objects, or in other words, convey to him these impressions; but proceed not
so absurdly, as to endeavor to produce the impressions by exciting the ideas.”
David Hume

Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998).
Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Hipotesis Whorf dan Sapir menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about other minds).

A. Selintas Konsep Saphir-Whorf tentang Bahasa dan Pikiran
When I think in language, there aren’t ‘meanings’ going through my mind in addition to the verbal expressions: the language is itself the vehicle of thought.”
Ludwig Wittgenstein

Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran.
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :

“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting…(Whorf dalam Chandler, 2000)
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).

B. Dukungan terhadap Konsep Saphir-Whorf
“The fact of the matter is that the 'real world' is
to a large extent unconsciously built upon the language habits of the group”
Edward Saphir
Hipotesis Sapir dan Worf didukung oleh beberapa temuan penelitian terutama dalam bidang antropologi. Seorang antropologis bernama Lucy menulis mengenai perbedaan bahasa yang berkaitan dengan aktifitas perseptual. Sebagai contoh, dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Language relativistics melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari aktifitas mental, seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan. Jika asumsi ini benar maka studi tentang bahasa mengarah pada perbedaan pikiran yang diakibatkan sistem tersebut. Di samping bahasa merefleksikan perkembangan kognitif, bahasa mempengaruhi akuisisi bahasa dan juga memiliki memberikan potensi pada transformasi kognitif.

Lucy mencoba menengahi pertentangan yang ada dengan memberikan beberapa petunjuk apabila seorang peneliti hendak mengkaji relativitas bahasa. Peneliti harus mengidentifikasi performansi kognitif individu yang beriringan dengan konteks verbal secara eksplisit (explicitly verbal contexts) dan menekankan pada struktur kognitif individu yang dideteksi yang ditunjukkan dalam perilaku keseharian. Melalui pandangan ini secara tidak langsung, Lucy telah melihat bahwa kognisi adalah sekumpulan konsep dan prosedur yang hadir dalam aktifitas individu yang berkaitan dengan perilaku verbal seperti berkata, mendengar dan berpikir secara verbal.

Penggunaan konteks dalam pengkajian bahasa ini mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson, yang melalui tulisannya dengan judul rethinking linguistic relativity mencatat pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik formal yang berkaitan dengan situasi semantik, discourse representation theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan gricean theories. Hipotesis Whorf juga didukung oleh Olson (1983) yang melihat bahwa kategori perseptual dan struktur kognitif individu merefleksikan dunia pengalaman. Sebuah peristiwa selalu dipersepsi dan dikategorisasi secara relatif tergantung pada konteksnya.

Berkaitan dengan kata-kata emosi, Levi (1973, dalam Wierzbicka, 1995) melalui studinya di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada kesamaan antara perasaan buruk (bad feelings) dalam pemahaman orang Tahiti dengan kata sedih (sad) dalam kosa kata Bahasa Inggris. Orang Tahiti lebih menonjolkan perasaan mo’emo’e (sebuah perasaan kesepian dan kesendirian) daripada rasa sedih yang oleh kosa kata Inggris dinamakan dengan sad. Levi menambahkan bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat merasakan mo’emo’e dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa merasakan sad, tetapi menandakan bahwa kedua perasaan itu mempunyai status yang berbeda sehingga tidak dapat diparalelkan. Jika perasaan buruk (bad feeling) bagi orang Inggris adalah sad, maka bagi orang Tahiti adalah mo’emo’e.

Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Melalui paparan di muka dapat diuraikan beberapa derivasi dari pengaruh bahasa terhadap pikiran manusia. Derivasi tersebut tercermin dari beberapa pernyataan beberapa ahli antara lain :
1. Language creates awareness (Macphail, Dennett)
2. Language creates self-consciousness (Edelman)
3. Language creates structures of thought and symbolic representation (Vygotsky, Tomasello)
4. Language serves as one possible cue for memory (Lucy, Pedersen)
5. Language provides “Thinking for speaking” (Slobin, 2003)
D. Beberapa Keberatan terhadap Konsep Saphir-Whorf
Konsep Sapir dan Whorf mengudang beberapa keberatan di kalangan ahli bahasa dan peneliti psikolinguistik. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Manusia dapat mengatakan apa saja yang dimauinya dalam sebuah bahasa sehingga antara satu bahasa dengan bahasa lainnya memiliki karakter yang paralel.
Salah satu fakta yang dipaparkan untuk menunjukkan keberatan ini adalah dalam bidang perkembangan. Beberapa kasus di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak. Usia 5 bulan bayi sudah mampu menalar aritmatika sederhana. Setelah sebelumnya bayi diperlihatkan dua buah objek di tangan, mereka mencoba mencari dua objek tersebut ketika dua objek tersebut disembunyikan.

Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak mampu memahami struktur simbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat dan gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka. Bukti ketiga adalah kasus penggunaan mental image yang diperagakan oleh beberapa individu. Seniman dalam bidang visual memiliki kemampuan menalar yang dapat disejajarkan dengan penulis ataupun ilmuwan. Francis Cricks dengan berpikir secara visual mampu menemukan struktur double helix DNA, Albert Einstein yang terkenal dengan penalar visual (visual thinker) mampu menelurkan rumus-rumus fisika yang spektakuler.
Kontroversi tentang pendapat Whorf juga diarahkan pada contoh yang dikemukakan, misalnya salju. Orang Eskimo hidup di tengah-tengah salju sehingga mereka memiliki banyak kata tentang salju. Unta sangat penting bagi orang Arab sehingga mereka memiliki banyak cadangan kosa kata dalam menggambarkan unta. Bahasa dikembangkan sesuai dengan tantangan kultural dan tidak benar bahwa manusia tidak dapat membedakan beberapa objek persepsi karena tidak ada kata yang mampu menggambarkannya. Walaupun dalam bahasa ada hanya menggunakan kata ‘dia’ akan tetapi orang Indonesia juga memahami arti ‘he’ dan ’she’ dalam Bahasa Inggris (Rakhmat, 1999).

Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.

Sementara sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa bahasa adalah objek sosial yang berdiri di atas kesepakatan untuk memudahkan adanya komunikasi, Chomsky (dalam Ludlow, 2000) memiliki konsep yang berbeda. Menurutnya bahasa “a natural object that is part of human biological endowment”. Bahasa adalah objek natural yang merupakan bagian dari kelebihan yang dimiliki manusia. Bahasa bagi Chomsky adalah cerminan dari pikiran dan produk dari kecerdasan manusia. Dengan memahami properti bahasa alami seperti struktur, organisasi, dan tata cara penggunaannya peneliti akan dapat memahami karakteristik manusia secara alami (human nature). Pandangan Chomsky ini selain bertentangan dengan pandangan Skiner mengenai proses akuisisi bahasa pada anak, juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dengan adanya hal-hal yang bersifat bawaan maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak memiliki keterkaitan dengan pikiran.

Konsep Paul Kay mengenai bahasa secara tidak langsung juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dikatakan olehnya bahwa perbedaan mengekspresikan fenomena dan objek dalam bahasa yang berbeda tidak berarti menunjukkan perbedaan dalam konsep. Untuk memahami relatifitas bahasa, individu menyadari layaknya menterjemahkan bahasa bahwa ada beberapa skema alternatif yang ada di dalam bahasa dan individu pemakai bahasa tersebut. (Jaszczolt, 2001).

Beberapa ahli melihat bahwa language relativistics kurang memiliki dukungan secara ilmiah, karena belum ada penelitian yang membuktikan keterkaitan tersebut (Schlenker, 2004). Menurut Schlenker (2004), manusia tidak secara eksak menggunakan kata-kata dalam berpikir (think in world), karena jika menggunakan manusia berpikir dengan menggunakan kata-kata maka pasien yang memiliki keterbatasan bahasa (language deficits) otomatis akan mengalami hambatan dalam berpikir. Bahasa verbal dan pikiran memiliki perbedaan secara prinsip. Namun demikian ini tidak berarti bahwa pikiran bukan sistem yang memanipulasi simbol dalam bahasa. Sebagai contoh, konsep computational model of the mind memperlihatkan bahwa pikiran dapat dianalogikan dengan komputer yang mampu memanipulasi simbol abstrak.
E. Tinjauan terhadap Konsep Whorf dan Sapir
Hipotesis Whorf dan Sapir tidak dapat dilepaskan dari apa yang diartikan oleh mereka sebagai bahasa. Melalui struktur terkecil dari bahasa yaitu kata-kata akan dapat diketahui bahwa bahasa dapat mempengaruhi pikiran individu. Berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian dari kata yang memungkinkan kata dapat berkaitan dengan pikiran manusia. Pertama, kata sebagai simbol (words as symbols). Kata sebagai simbol berarti kata lebih mewakili suatu objek daripada dirinya sendiri. Hubungan antara kata dan simbol ini dibangun oleh konvensi sosial dalam sebuah budaya. Kedua, kata sebagai atribut objek (words as attribute). Kata dan objek adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Piaget dan Vigotsky melaporkan bahwa penerimaan anak-anak terhadap nama sebuah objek tidak dapat dibedakan lagi. Bagi mereka nama meja atau kursi adalah bagian dari objek meja. Kata dan objek yang diatribusikan adalah satu bagian. Kata meja menjadi milik sebuah meja. Ketiga, kata sebagai objek (words as object). Kata-kata adalah bagian dari dunia manusia. Kata diterima sebagai sesuatu yang dalam dalam pikiran. Ketika individu mendengar sebuah kata terucap, ia akan mereaksi ucapan ini dengan berpikir objek itu ada di dalam dunia nyatanya. Kata-kata adalah bagian dari bahasa yang digunakan oleh manusia untuk menerima, mengolah, serta menyampaikan informasi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia selalu menggunakan media bahasa. Manusia tidak mungkin melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa dalam hal ini direpresentasikan dalam kata-kata (Sumaryono, 1993).

Pikiran, bahasa, dan budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat, masing-masing konstrak tersebut mencerminkan satu konstrak yang lain (Frawley dalam Forrester, 1996). Keterkaitan antara bahasa dan budaya terletak pada asumsi bahwa setiap budaya telah memilih jalannya sendiri-sendiri dalam menentukan apa yang harus dipisahkan dan apa harus diperhatikan untuk memberi nama pada realitas (Goldschmidt, 1960). Di sisi yang lain, keterkaitan antara bahasa dan pikiran terletak pada asumsi bahwa bahasa mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia, serta mempengaruhi pikiran individu pemakai bahasa tersebut (Whorf dalam Rakhmat, 2000). Keterkaitan antara bahasa dan pikiran dimungkinkan karena berpikir adalah upaya untuk mengasosiasikan kata atau konsep untuk mendapatkan satu kesimpulan melalui media bahasa. Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi

Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
Kata-kata adalah bentuk pemberian pakaian pada realita faktual yang terjadi secara nyata. Pemberian ini dipengaruhi oleh faktor subjektifitas kebudayaan dan individu. Subjektifitas ini terlihat ketika manusia dari latar belakang yang berbeda memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Manusia memotong dunia realitas dan mengklasifikasikan ke dalam kategori yang sama sekali berbeda berdasarkan prinsip yang sama sekali berbeda dalam tiap budaya. Kata Inggris, misalnya table (meja), meskipun bentuknya bundar atau persegi, di dalam pikiran orang Inggris menyatakan bahwa kedua benda tersebut esensinya merupakan satu dan sama karena melayani fungsi yang sama. Orang non Indo-Eropa tidaklah memotong realitas berdasarkan fungsinya, melainkan pada bentuk dasarnya: bundar, persegi, padat, atau cair. Bagi orang non Indo-Eropa kriteria tentang bentuk dan rupa adalah pasti, dalam menentukan apakah sebuah benda itu menjadi milik kategori ini atau kategori atau. Di mata masyarakat ini, meja bundar dan meja persegi adalah dua benda yang sama sekali berbeda sehingga harus ditunjukkan dengan nama yang berbeda pula.
Bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata adalah representasi realitas. Untuk menyimbolkannya dalam bentuk kata-kata manusia memotong dunia realitas dan mengklasifikasikannya ke dalam kategori yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Cara yang digunakan oleh tiap budaya dalam memotong realitas adalah dengan subjektif (arbitrary) seperti halnya memotong sebuah kue sehingga fenomena ini terkenal dengan nama cookie cutter effect (Albrecht, 1986).

Seorang ahli antropologi yang sedang mencoba mencacah jumlah penduduk sebuah suku di pedalaman Afrika. Ia bertanya kepada salah seorang penduduk di sana. “Berapa anak laki-laki ibu?”. “Dua” jawab sang ibu. Sang antropolog itu kemudian terkejut karena sebelumnya ia bertanya kepada suaminya, yang menjawab bahwa anaknya berjumlah tiga orang. Peneliti menemukan bahwa anak bagi penduduk di sana, adalah keturunan mereka yang berjenis kelamin sama dengan mereka. Ketika sang antropolog mengumpulkan mereka berdua kemudian bertanya berapa jumlah anak laki-laki dan perempuan mereka, mereka menjawab sembilan. Tak kalah dengan keterkejutan yang pertama, antropolog itu menemukan bahwa bagi suku tersebut, anak mereka yang telah meninggal dunia juga mereka masukkan dalam hitungan. Anak mereka yang telah meninggal harus tetap diperkenalkan kepada orang yang bertanya jumlah anak mereka (Albrecht, 1986). Peristiwa di atas merupakan salah satu bukti bahwa sebuah kebudayaan mempunyai cara sendiri dalam mengkategorikan realitas.
Setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam memilih satu wilayah tertentu dari keseluruhan realitas untuk diwujudkan dalam sebuah kata-kata. Aktifitas ini kemudian paralel dengan konsep kategorisasi yang dilibatkan dalam hipotesis linguistic determinism melalui apa yang dinamakan dengan frame of reference. Frame of reference adalah sebuah sistem yang membantu manusia mengklasifikasikan objek.
E. Implikasi Konsep Saphir-Whorf
Lepas dari kontradiksi pendapat mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran, bahasa memang mempunyai pengaruh atas pengalaman manusia. Bahasa memberikan pandangan perseptual dan sekaligus memaksakan pandangan konseptual tertentu. Bahasa memaksakan pandangan perseptual manusia karena bahasa adalah kaca mata yang dipakai untuk melihat realitas. Manusia sama saja dengan orang yang buta yang tak mampu mengenali realita semanusiar ketika manusia manusia memiliki bahasa.
1. Fenomenologi.
Bukti keterkaitan antara bahasa dan pikiran dapat dilihat pada kasus beberapa orang fenomenolog. Dengan berbahasa yang fasih yang didukung dengan penguasaan kosa kata yang baik maka mereka dapat berargumentasi dengan baik pula. Oleh karena itu mengapa ahli-ahli besar dalam bidang fenomenologi juga terkenal sebagai ahli bahasa, penulis novel, puisi, serta artikel. Jean Paul Sartre, Leo Tolstoy, Martin Heidegger, adalah contohnya. Ketika para peneliti sibuk dengan penjelasan statistika sebagai bukti teorinya, orang-orang ini menggunakan media bahasa untuk menjelaskan teorinya. Para fenomenolog telah langsung masuk ke dalam realitas dan mengambarkan apa yang dapat mereka kenali. Banyak yang mereka kenali dari realitas itu karena mereka mempunyai kosa kata yang banyak. Dalam kasus CAT, penguasaan bahasa seorang anak menjadi faktor yang berpengaruh, jika yang dikenali hanyalah gambar kuda, maka ia hanya menyebut gambar kuda. Jika kartu CAT itu diberikan kepada Sartre maka tidak hanya kuda, pigura, kalung, sampai tatapan mata kuda, ekspresi wajahnya, dan posisi tubuh kuda mungkin ikut diceritakan.
Bahasa memberikan satu nuansa tertentu pada sebuah ide (Valsiner, 1996). Bahasa adalah instrumen yang membentuk dan membangun ide kreatif dari pikiran. Melalui bahasa ide menjadi objektif. Yang semula ia berada di awan-awan angan-angan, ide menjadi konkret dan turun ke bumi. Sekali individu memberikan bentuk berupa kata-kata pada idenya dengan kata-kata, ide ini akan menjadi objek bagi dirinya sendiri sebagai kata-kata yang terdengar (audible) sehingga mudah diakses oleh masyarakat.

2. Penguasaan melalui Bahasa
Bahasa juga memaksakan pandangan konseptual pemakai bahasa karena secara tak langsung manusia mengevaluasi realita berdasarkan bahasa yang manusia miliki. Dengan cara seperti inilah bahasa mempengaruhi pikiran dan tindakan manusia. Sebuah desa miskin yang sedang banyak penduduknya susah mencari makanan, hal tersebut bagi pemerintah bukanlah kelaparan, tetapi “rawan pangan”. Pelonjakan harga, bukanlah “kenaikan harga”, tetapi “penyesuaian harga”. Upaya rakyat Palestina lepas dari “penjajahan” Israel adalah tindakan “agresi” , sedangkan tindakan Israel adalah “pembalasan”.
Filosof barat, Harold Titus, bahkan mengatakan bahwa bahasa mencetak pikiran-pikiran orang yang memakainya. Pernyataan ini meskipun belum terbukti dalam kancah penelitian ilmiah akan tetapi memuat sebuah gagasan yang orisinal. Komunikasi manusia bersifat intensional. Dengan kata lain, dasar komunikasi yang dilakukan oleh manusia adalah mengubah pola pikir dan sikap orang lain. Transmisi informasi ini sangat penting bagi sebuah kebudayaan mempertahankan bentuk pengetahuan (known forms) yang dimilikinya. Satu rumusan yang dikeluarkan oleh Michael Foucoult dan Thomas Szas tentang bahasa kiranya menjadi kata kunci dari pengaruh bahasa dalam merekayasa perilaku. Foucoult mengatakan bahwa “Siapa yang mampu memberi nama, dialah yang menguasai”, sedangkan Szas mengatakan bahwa “Kalau di dunia hewan berlaku hukum makan atau dimakan, maka dalam dunia manusia berlaku hukum membahasakan atau dibahasakan”
Jika kita berani untuk melangkah lebih jauh lagi, kita akan mendapatkan hipotesis bahwa bahasa mencetak sebuah kepribadian. Ketika satu bahasa memproduksi satu perilaku tertentu, serta ketika perilaku tersebut diulang-ulang menjadi kebiasaan maka yang tercipta adalah kepribadian. Hal ini dikarenakan bahwa pada mulanya manusia membentuk kebiasaan, tetapi setelah itu kebiasaanlah yang membentuk manusia.

3. Masalah penerjemahan.
Menurut pandangan Whorfian, muatan (content) berdiri di atas bentuk bahasa yang merupakan medium dalam menentukan sebua makna. Oleh karena itu translasi satu bahasa ke bahasa lain sangat problematik dan kadang menjadi tidak mungkin. Translasi kadang hanya mampu memindahkan bahasa akan tetapi tidak mampu memindahkan muatan dan makna, karena ada semacam unverbalized thought yang harus juga diterjemahkan. Beberapa sastrawan yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa lain merasa ada sesuatu yang kurang dari hasil terjemahan tersebut.

4. Keterbatasan Kata Emosi
Implikasi lain dari hipotesis Whorf dan Sapir adalah keterbatasan kosa kata yang menyebabkan gangguan psikologis. Sedikitnya kosa kata emosi yang dimiliki oleh banyak orang membuat mereka lemah dalam menggambarkan emosi mereka dengan kata-kata mereka. Padahal kemampuan untuk verbalisasi emosi ini sangat berguna untuk kesehatan mental mereka. Mampu memberi nama emosi berarti dapat memilikinya untuk digunakan sesuai dengan fungsinya dan tidak terganggu dengan kehadirannya. Daniel Goleman (1995) sudah mendeteksi pentingnya masalah ini sejak awal. Kemampuan memberi nama pada emosi adalah salah satu bagian integral Kecerdasan Emosi dalam aspek Self Awarenes. Di sini individu mampu mengamati diri, menghimpun kosa kata untuk melabeli perasaannya, serta mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan, dan reaksi. Mengetahui aneka ragam perasaan yang muncul memungkinkan individu untuk mengenal diri mereka sendiri.
Dengan membahasakannya dalam kata-kata, mereka menjadi tahu bahwa emosi itu benar-benar nyata ada dalam diri mereka. Seorang ahli psikolinguistik, Alfred Korzybsky mengatakan beberapa gangguan jiwa disebabkan oleh keterbatasan penggunaan kata oleh individu yang tidak sanggup mengungkapkan realitas dengan cermat. Yang diketahuinya hanya dua pilihan yang ekstrem. Gembira-sedih, tersanjung-marah, atau sehat-sakit. Padahal realitas tidaklah demikian. Hidup tidak terpisah menjadi kutub ekstrim negatif dan ekstrim positif. Realitas sangat kaya sekali dengan warna-warna emosi.

Perasaan atau emosi sedih muncul tanpa pemaknaan yang jelas. Mereka belum mengetahui apa yang menyebabkan emosi tersebut muncul dan bagaimana hubungannya dengan reaksi yang mereka lakukan. Pelajar belum dibina dan dibimbing untuk mengenal emosi mereka dan cara-cara mengekspresikannya dengan baik. Dengan mengenal emosi yang sedang berlangsung, maka emosi tersebut dapat dinikmati dan dikendalikan.
Melalui uraian di muka dapat disimpulkan bahwa bahasa mampu mengubah pikiran melalui beberapa formulasi, antara lain:
1. Bahasa meningkatkan komunikasi
2. Bahasa memperluas pikiran dengan adanya abstraksi
3. Bahasa membentuk kebudayaan
4. Bahasa dapat membangun verbal sef-concept
F. PENUTUP
Bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal. Misalnya adanya temuan hubungan yang signifikan antara kemampuan mengklasifikasikan (classificatory ability) and pemahaman makna kata (word meaning) pada individu yang memiliki gangguan bahasa atau individu yang menderita skizofren.
Wacana yang dilontarkan oleh Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut. Beberapa pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan daripada pandangan yang menentangnya. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain:
1. Determinasi bahasa dapat dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensi dalam menalar daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2. Proses satu arah tersebut dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam bahasa yang digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang dunia dan juga sebaliknya.
3. Studi komparasi antar bahasa yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih diarahkan untuk mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada perbandingan bahasa utama sebuah masyarakat.

Daftar Pustaka
Albrecht, K. 1986. Brain Power. London: John Willey & Sons.
Forrester, M.A., 1996. Psychology of Language : A Critical Introduction. London: Sage Publication
Gleitman, L & Papafragou, A. 2000. Language and thought. To appear in K. Holyoak and B. Morrison (eds.), Cambridge Handbook of Thinking and Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press.
Jaszczolt, K. 2000. Language and Thought. www.cam.ac.uk
Ludlow, P. 2000. Language and Thought. Martinich and D. Sosa (eds.) A Companion to Analytic Philosophy, Oxford: Basil Blackwell
Olson D R, 1970 Language and thought: aspects of a cognitive theory of semantics. Psycho! Review. 77:257-73, 1970.
Rakhmat, J. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2000. Catatan Kang Jalal. Bandung: Rosda Karya.
Slobin, l. Language and thought online: Cognitive consequences of linguistic relativity Published in d. Gentner & s. Goldin-meadow (eds.), (2003). Language in mind: advances in the study of Language and thought. Cambridge Press.
Sumaryono, H. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, J. 1998. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal Culture & Psychology. Vol I: 227-258. London: Sage Publication
Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Culture. Cambridge : Cambridge University Press

Selasa, 19 Oktober 2010

Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang

diangkakan. Data kualitatif yang diangkakan misalnya terdapat dalam skala

pengukuran. Suatu pernyataan/ pertanyaan yang memerlukan alternatif jawaban,

di mana masing-masing : sangat setuju diberi angka 4, setuju 3, kurang setuju 2,

dan tidak setuju 1

Penyusunan kerangka penelitian berangkat dari problematika penelitian, sebab dari permasalahan akan memunculkan tujuan penelitian, hipotesa penelitian, meskipun ada penelitian yang berangkat tidak dari hipotesa. Untuk menjawab problematika, mencapai tujuan penelitian, dan menguji hipotesa diperlukan data penelitian.Oleh karena itu problematika penelitian yang dimunculkan hendaknya dijawab data penelitian.

Data yang diperoleh mempertimbangkan validitas, realibilitas, dan obyektivitas. Sudah barang tentu dari berbagai jenis penelitian kreteria tidak sama, seperti yang dikatakan Sugiyono (2007; 365) bahwa, “ pada penelitian kuantitatif untuk memperoleh data yang valid, reliable dan obyektif perlu uji instrumen yang valid, reliable, dan obyektif pada sampel yang mendekati jumlah populasi dan pengumpulan serta analisis data dilakukan dengan cara yang benar.”Sedangkan untuk penelitian kualitatif bukan uji instrument melainkan uji data yang dikumpulkannya. Oleh sebab itu untuk lebih jelasnya kita uraikan lebih lanjut.

2. Pengertian

a. Validitas

Ada beberapa definisi tentang validitas diantaranya menurut Fraenkel (1993; 139) dikatakan bahwa, “ Validitas menunjukkan kesamaan, pengertian maupun penggunaan masing-masing peneliti yang berbeda dalam mengumpulkan data.” Sedangkan batasan validitas menurut Sugiyono (2007; 363) dikatakan bahwa,”Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti.” Jadi dari kedua pendapat itu jelas batasan validitas adalah berkenaan dengan derajat ketepatan, antara data obyek sebenarnya dengan data penelitian.

  1. Reliabilitas

Menurut Fraenkel (1993; 146) dikatakan,” Reliabilitas adalah konsistensi skor, dan stabilitas data dari instrument penelitian.” Sedangkan menurut Sugiyono (2007; 364) dikatakan,” reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan.”

  1. Obyektivitas

Menurut Sugiyono(2007: 364) dikatakan,”Obyektivitas menunjukkan derajat kesepakatan antar banyak orang terhadap suatu data.” Maksud dari pengertian ini didasarkan pada prosentase kebenaran data disampaikan oleh orang banyak.

3. Validitas Dan Reliabilitas Dalam Penelitian Kualitatif

Ada perbedaan yang mendasar mengenai validitas dan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang diuji validitas dan reliabilitasnya adalah instrumen penelitiannnya. Sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti.

Validitas dalam penelitian kualitatif menunjukkan sejauhmana tingkat interpretasi dan konsep-konsep yang diperoleh memiliki makna yang sesuai antara peneliti dan partisipan. Dengan kata lain, partisipan dan peneliti memiliki kesesuaian dalam mendeskripsikan suatu peristiwa terutama dalam memaknai peristiwa tersebut.

Pengertian reliabilitas dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif pun berbeda. Dalam penelitian kualitatif sutau relaitas itu bersifat majemuk/ganda, dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang konsisten, dan berulang seperti semula. Situasi senantiasa berubah demikian juga perilaku manusia yang terlibat didalamnya.

Pelaporan penelitian kualitatif pun bersifat individu, atau berbeda antara peneliti satu dengan peneliti lainnya. Bahkan untuk obyek yang sama, apabila ada 5 peneliti dengan latar belakang yang berbeda, akan diperoleh 5 laporan penelitian yang berbeda pula. Peneliti yang berlatar belakang pendidikan tentu akan menemukan dan melaporkan hasil penelitian yang berbeda dengan peneliti yang berlatarbelakang sosiologi.

Oleh karena itu penelitian kualitatif sering dikatakan bersifat subyektif dan reflektif. Dalam penelitian kualitatif tidak digunakan instrumen yang standar tetapi peneliti bertindak sebagai instrumen. Data dikumpulkan secara verbal diperkaya dan diperdalam dengan hasil pengamatan, mendengar, persepsi, pemaknaan/penghayatan peneliti. Namun demikian peneliti meskipun melibatkan segi subyektifitas , dia harus disiplin dan jujur terhadap dirinya sebab penelitian kualitatif harus memiliki objektifitas pula. Objektifitas disini berarti data yang ditemukan dianalisis secara cermat dan teliti, disusun, dikategorikan secara sistematik, dan ditafsirkan berdasarkan pengalaman, kerangka berpikir, persepsi peneliti tanpa prasangka dan kecenderungan-kecenderungan tertentu.

Sedangkan penelitian kualitatif dikatakan bersifat reflektf karena penelitian kualitatif merupakan pengkajian yang cermat dan hati-hati terhadap seluruh proses penelitian.

Menurut Prof. Dr. Nana Syaodih S., validitas penelitian kualitatif dapat dicapai melalui kombinasi sepuluh strategi peningkatan validitas, yaitu:

a. Pengumpulan data yang relatif lama.

Memungkinkan terkumpulnya data secara lengkap dan ditemukannnya data yang berangsur sesuai dengan kenyataan.

b. Strategi multi metode.

Kombinasi teknik pengumpulan data, antara lain, wawancara, observasi, studi dokumenter .

c. Bahasa partisipan kata demi kata.

Pengumpulan data maupun analisis data dilakukan kata demi kata sehingga mendapatkan rumusan yang rinci.

d. Dekriptor inferensi yang rendah.

Pencatatan yang lengkap dan detil baik untuk sumber situasi maupun orang menjadikan catatan dimengerti dan tidak menimbulkan apersepsi yang berbeda.

e. Peneliti beberapa orang.

Data deskriptif yang dikumpulkan dan disetujui oleh tim peneliti.

f. Pencatat data mekanik.

Data direkam baik mengggunakan media audio, video, maupun foto sehingga ada pembuktian sesuai kenyataan.

g. Partisipan sebagai peneliti.

Menggunakan catatan-catatan yang dimiliki partisipan untuk melengkapi.

h. Pengecekan anggota.

Pengecekan data ulang oleh anggota peneliti yang lain.

i. Review oleh partisipan.

Meminta pada partisipan untuk mereview data, dan melakukan sistesis semua hasil wawancara dan observasi.

j. Kasus-kasus negatif.

Mencari, mencatat, menganalisa, melaporkan data dari kasus-kasus negatif atau yang berbada dengan pola yang ada.

Pengujian Validitas Dan Reliabilitas Penelitian Kualitatif

Menurut Prof. Dr. Sugiyono, pengujian validitas dan reliabilitas data dalam penelitian kualitatif meliputi uji kredibilitas, uji transferability, uji depenability, dan uji konfirmability.

a. Uji Kredilibitas

Uji kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain :

1) Perpanjangan pengamatan.

Peneliti kembali melakukan pengamatan dilapangan/lokasi penelitian. Artinya hubungan peneliti dengan partisipan/narasumber semakin akrab, terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.

2) Peningkatan ketekunan dalam penelitian.

Peneliti melakukan pengecekan kembali apakah data yang yang telah ditemukan salah atau benar. Peneliti juga dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis.

3) Triangulasi.

Pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.

· Triangulasi sumber.

· Triangulasi teknik pengumpulan data.

· Triangulasi waktu pengumpulan data.

4) Analisis kasus negatif.

Peneliti mencari data yang berbeda atau behkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuannya, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.

5) Memberchek.

Proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan membercek untuk mengetahui sejauhmana data yang diperolh sesuai apa yang diberikan pemberi data.

b. Uji Transferability

Transferability berkaitan dengan sejauh mana hasil penelitian dapat ditepkan atau digunakan dalam situasi lain. Oleh karena itu, agar orang lain dapat memahami hasil penelitian dan ada kemungkinan menerapkannya, maka peneliti harus membuat laporan secara rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya.

c. Uji Depenability dan Uji Konfirmability

Uni dependability dilakukan dengan mengaudit seluruh proses penelitian, yaitu dilakukan oleh auditor yang independen.

Uji Konfirmability hamper sama dengan iju dependability, yaitu menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Apabila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmability.

Oleh karena itu dua pengujian ini sering kali dilakukan bersama-sama.

4. Validitas, reliabilitas, dan obyektivitas pada penelitian kuantitatif.

  1. Validitas penelitian kuantitatif.

Validitas suatu data berkenaan dengan derajat ketepatan antara data lapangan dengan data yang dilaporkan oleh peneliti. Menurut Sugitono (2007; 363) dikatakan, validitas dibedakan menjadi dua yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal berkaitan dengan berkenaan dengan akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai, misalnya disain penelitianna tentang kandungan gizi dan nutrisi biji durian petruk, maka data yang diperoleh tentang kandungan gizi dan nutrisi biji durian petruk, bukannya dala lain.

Untuk mendapatkan data yang valid dalam metode kuantitatif diperlukan instrumen yang valid, oleh karenanya diperlukan uji validitas instrument. Validitas instrument menggambarkan tingkat instrument yang mampu mengukur apa yang akan diukur (Suharsimi Arikunto; 2003: 219). Di sini dijelaskan ada dua jenis validitas instrument penelitian yaitu: validitas logis dan validitas empiris. Maksud dari validitas logis apabila instrument tersebut secara analisis akal sudah sesuai dengan isi dan aspek yang diungkapkan. Sedangkan validitas empiris apa bila suatu instrument dapat mengungkap semua data yang ditangkap oleh panca indera yang ada pada obyek di lapangan.

  1. Reliabilitas penelitian kuantitatif.

Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Suatu data dikatakan reliabel bila diteliti oleh peneliti yang berbeda diperoleh data yang sama, begitu juga bila dilakukan dalam waktu yang tidak sama didapat data yang sama, tentunya berkenaan pada sampel yang sama. Contoh: kadar alcohol pada minuman bermerk topi miring lebih dari 10%, dan sangat membahayakan peminumnya. Minuman merk ini bila diteliti oleh peneliti yang berbeda tetap data yang dihasilkan sama, begitu juga dilakukan berulang kali juga sama.

  1. Obyektivitas penelitian kuantitatif

Obyektivitas berkenaan dengan derajat kesepakatan antar banyak orang terhadap data, sekarang timbul pertanyaan apakah data yang disepakati antar oaring banyak itu valid dan reliabel? Data yang obyektif memiliki kecenderungan valid dan reliabel tetapi belum tentu semua data yang obyektif valid dan reliabel. Apa lagi kalau data pada penelitian kualitatif berkenaan dengan manusia tidak ada jaminan kesepakatan orang banyak itu valid dan reliabel, karena manusia makhluk yang sangat komplek. Dahulu sebelum ada teori matahari pusat tata surya, orang-orang mempercayai bumilah pusat tata surya dan itu berlaku ratusan tahun, tetapi setelah ada pendapat seorang ilmuawan bahwa matahari sebagai pusat tata surya hampir semua orang tidak percaya.

Dari penjelasan di atas jelas kiranya dalam penelitian kuantitatif data hendaknya memiliki tingkat validitas, reliabilitas, dan obyektivitas. Untuk mendapatkan data tersebut perlu instrument yang valid, sehingga dalam penelitian kuantitatif yang diuji bukan datanya tetapi instrumennya.

5. Kesimpulan

Ada perbedaan yang mendasar mengenai validitas dan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif untuk mendapatan validitas dan reliabilitas diuji instrumen penelitiannnya. Sedangkan dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang diuji validitas dan reliabilitasnya adalah datanya. Temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti.

Reliabilitas dalam penelitian kualitatif bersifat individu, atau berbeda antara peneliti satu dengan peneliti lainnya. Oleh karena itu penelitian kualitatif sering dikatakan bersifat subyektif dan reflektif karena peneliti bertindak sebagai instrumen. Namun demikian peneliti meskipun melibatkan segi subyektifitas , dia harus disiplin dan jujur terhadap dirinya sebab penelitian kualitatif harus memiliki objektifitas pula. Objektifitas disini berarti data yang ditemukan dianalisis secara cermat dan teliti, disusun, dikategorikan secara sistematik, dan ditafsirkan berdasarkan pengalaman, kerangka berpikir, persepsi peneliti tanpa prasangka dan kecenderungan-kecenderungan tertentu.

Pengujian validitas dan reliabilitas data dalam penelitian kualitatif meliputi uji Kredibilitas, Uji Transferability, Uji Depenability, dan Uji Konfirmability.

Senin, 10 Mei 2010

Introling Score

Introling Score

  1. Feliciana 56
  2. Devi 66
  3. Grace 42
  4. Desi 62
  5. Shintia 82
  6. Mersinta 64
  7. Safitri 74
  8. Steffina 60
  9. Septiani 16
  10. Sintia 50
  11. Surya 84
  12. Happy 88
  13. Roselina 34
note: